Bagi masyarakat Yogyakarta, Gunung Merapi bukanlah sekedar gunung tetapi keberadaannya merupakan simbol sakral dan mistis kota ini dan bagi kehidupan masyarakatnya. Gunung Merapi tidak bisa lepas dari filosofi Kota Yogyakarta dengan karaton sebagai pancernya. Kota Yogyakarta terbelah oleh sumbu imajiner yang menghubungkan Laut Kidul, Parangkusumo, Panggung Krapyak, Karaton, Tugu Pal Putih, dan Gunung Merapi. Hal ini merupakan pembagian dari aspek Jagat Alit dan Jagat Ageng sehingga keberadaan Gunung Merapi tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakatnya.
Meskipun Gunung Merapi menyimpan bahaya yang dasyat dan sewaktu-waktu dapat mengancam kehidupan di sekitarnya namun sebagai bagian dari keseimbangan alam, Gunung Merapi juga memegang peranan penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat di sekitarnya dan hal inilah yang sulit untuk dipisahkan. Keberadaan Gunung Merapi juga tidak terlepas dari keberadaan Islam Mataram di Jawa, khususnya hubungan antara 'penunggu' Merapi yaitu Kyai Sapu Jagad dengan lingkungan Keraton Yogyakarta. Menurut cerita, raja pertama Kesultanan Mataram Islam, Sutawijaya mengadakan perjanjian dengan Kyai Sapu Jagad. Perjanjian tersebut berisi tentang kesediaan Sutawijaya dan keturunannya bertanggung jawab memberi sesaji dan sebagai imbalannya rakyat Mataram akan dilindungi dari bencana. Penyerahan sesaji ini diwujudkan dalam bentuk Upacara Labuhan Merapi yang diselenggarakan setahun sekali tanggal 25 bulan Bakdamulud (Maulid Akhir).
Upacara Labuhan Merapi selalu digelar masyarakat setempat dan Kesultanan Yogyakarta secara turun temurun tanpa mengurangi muatan sakralnya. Labuhan ini hanya boleh dilaksanakan atas perintah raja sebagai kepala pemerintahan, kepala kerajaan dan pemangku adat. Upacara Labuan Merapi dipimpin oleh juru kunci yang ditunjuk Keraton Yogyakarta.
Labuhan berasal dari kata 'labuh' yang artinya persembahan. Upacara adat Keraton Yogyakarta ini merupakan perwujudan doa persembahan kepada Tuhan atas rahmat dan anugerah yang diberikan kepada karaton dan rakyatnya juga sebagai tanda penghormatan bagi leluhur yang menjaga Gunung Merapi. Upacara puncak labuhan diadakan di Gunung Merapi namun peyelenggaraan upacara adat ini juga biasanya diselenggarakan di tempat lain seperti di Pantai Parangkusumo, Gunung Lawu dan Kahyangan Dlepih.
Labuhan Merapi merupakan upacara adat yang disakralkan masyarakat Yogyakarta dan sekitar Gunung Merapi. Kesakralan upacara ini terletak pada pranata keraton yang harus dilakukan secara khusus, khidmat dan tidak boleh dilakukan sembarang orang. Pranata keraton merupakan manifestasi budaya yang bermakna membuang, menjatuhkan atau menghanyutkan benda-benda yang telah ditetapkan keraton agar sultan dan rakyatnya mendapatkan keselamatan.
Bagi warga Yogyakarta dan sekitar Gunung Merapi, ketika upacara adat ini diselenggarakan, ribuan warga akan berbondong-bondong menapaki setiap prosesi. Mereka berjalan mengiringi para abdi keraton dengan membawa benda-benda labuhan untuk diserahkan kepada leluhur mereka, yaitu Kyai Sapu Jagad.
Dengan berpakaian khas Yogyakarta, juru kunci dan semua abdi dalem keraton menjalankan semua prosesi Upacara Adat Labuhan Merapi. Rangkaian upacara Labuhan Merapi dimulai dengan penerimaan uba rampe (perlengkapan) labuhan dari Kraton Ngayogyakarta di Pendopo Kecamatan Cangkringan. Berikutnya dilanjutkan prosesi serah terima uba rampe labuhan dari pihak kraton kepada juru kunci Merapi. Prosesi uba rampe labuhan terdiri atas sembilan macam sesaji, yaitu: sinjang kawung, sinjang kawung kemplang, desthar daramuluk, desthar udaraga, semekan gadung mlati, semekan gadung, seswangen, arta tindih, dan kampuh paleng. Kemudian uba rampe akan diarak menuju Gunung Merapi dan disemayamkan di rumah Juru Kunci Gunung Merapi.
Pada malam harinya bertempat di Mushola Pelemsari Huntara Plosokerep dilakukan kenduri wilujengan yang dipimpin juru kunci Gunung Merapi oleh masyarakat Yogyakarta dan sekitar Gunung Merapi. Kemudian mereka berangkat menuju Masjid Kinahrejo dan ke lokasi bekas rumah almarhum Mbah Maridjan (Mantan Juru kunci Gunung Merapi) untuk melakukan malam renungan dan doa yang dipimpin juru kunci Gunung Merapi diikuti para abdi dalem kraton dan warga.
Berikutnya, rombongan akan kembali ke huntara Plosokerep, di sini rombongan dihibur kesenian uyon-uyon oleh paguyuban kesenian Desa Umbulharjo dan dilanjutkan pembacaan doa dan tahlil malam tirakatan yang dipimpin Juru Kunci Gunung Merapi dan para abdi dalem kraton. Prosesi Labuhan Merapi kemudian dilanjutkan perjalanan menuju Alas Bedengan sebagai lokasi Labuhan Merapi yang didahului dengan napak tilas di bekas rumah Mbah Maridjan. Berikutnya menjelang akhir, di Alas Bedengan Rampe Labuhan dari Sri Sultan Hamengkubuwono X dibacakan alunan doa dan prosesi ini menjadi acara puncak sekaligus penutup Upacara Labuhan Merapi. Setelah prosesi selesai, kemudian rampe labuhan tersebut diperebutkan oleh masyarakat. Mereka percaya bahwa dengan mendapatkan salah satu dari Rampe Labuhan Sri Sultan Hamengkubuwono X maka mereka akan mendapatkan tidak hanya berkat tetapi juga keselamatan dalam hidup.
Meskipun Gunung Merapi menyimpan bahaya yang dasyat dan sewaktu-waktu dapat mengancam kehidupan di sekitarnya namun sebagai bagian dari keseimbangan alam, Gunung Merapi juga memegang peranan penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat di sekitarnya dan hal inilah yang sulit untuk dipisahkan. Keberadaan Gunung Merapi juga tidak terlepas dari keberadaan Islam Mataram di Jawa, khususnya hubungan antara 'penunggu' Merapi yaitu Kyai Sapu Jagad dengan lingkungan Keraton Yogyakarta. Menurut cerita, raja pertama Kesultanan Mataram Islam, Sutawijaya mengadakan perjanjian dengan Kyai Sapu Jagad. Perjanjian tersebut berisi tentang kesediaan Sutawijaya dan keturunannya bertanggung jawab memberi sesaji dan sebagai imbalannya rakyat Mataram akan dilindungi dari bencana. Penyerahan sesaji ini diwujudkan dalam bentuk Upacara Labuhan Merapi yang diselenggarakan setahun sekali tanggal 25 bulan Bakdamulud (Maulid Akhir).
Upacara Labuhan Merapi selalu digelar masyarakat setempat dan Kesultanan Yogyakarta secara turun temurun tanpa mengurangi muatan sakralnya. Labuhan ini hanya boleh dilaksanakan atas perintah raja sebagai kepala pemerintahan, kepala kerajaan dan pemangku adat. Upacara Labuan Merapi dipimpin oleh juru kunci yang ditunjuk Keraton Yogyakarta.
Labuhan berasal dari kata 'labuh' yang artinya persembahan. Upacara adat Keraton Yogyakarta ini merupakan perwujudan doa persembahan kepada Tuhan atas rahmat dan anugerah yang diberikan kepada karaton dan rakyatnya juga sebagai tanda penghormatan bagi leluhur yang menjaga Gunung Merapi. Upacara puncak labuhan diadakan di Gunung Merapi namun peyelenggaraan upacara adat ini juga biasanya diselenggarakan di tempat lain seperti di Pantai Parangkusumo, Gunung Lawu dan Kahyangan Dlepih.
Labuhan Merapi merupakan upacara adat yang disakralkan masyarakat Yogyakarta dan sekitar Gunung Merapi. Kesakralan upacara ini terletak pada pranata keraton yang harus dilakukan secara khusus, khidmat dan tidak boleh dilakukan sembarang orang. Pranata keraton merupakan manifestasi budaya yang bermakna membuang, menjatuhkan atau menghanyutkan benda-benda yang telah ditetapkan keraton agar sultan dan rakyatnya mendapatkan keselamatan.
Bagi warga Yogyakarta dan sekitar Gunung Merapi, ketika upacara adat ini diselenggarakan, ribuan warga akan berbondong-bondong menapaki setiap prosesi. Mereka berjalan mengiringi para abdi keraton dengan membawa benda-benda labuhan untuk diserahkan kepada leluhur mereka, yaitu Kyai Sapu Jagad.
Dengan berpakaian khas Yogyakarta, juru kunci dan semua abdi dalem keraton menjalankan semua prosesi Upacara Adat Labuhan Merapi. Rangkaian upacara Labuhan Merapi dimulai dengan penerimaan uba rampe (perlengkapan) labuhan dari Kraton Ngayogyakarta di Pendopo Kecamatan Cangkringan. Berikutnya dilanjutkan prosesi serah terima uba rampe labuhan dari pihak kraton kepada juru kunci Merapi. Prosesi uba rampe labuhan terdiri atas sembilan macam sesaji, yaitu: sinjang kawung, sinjang kawung kemplang, desthar daramuluk, desthar udaraga, semekan gadung mlati, semekan gadung, seswangen, arta tindih, dan kampuh paleng. Kemudian uba rampe akan diarak menuju Gunung Merapi dan disemayamkan di rumah Juru Kunci Gunung Merapi.
Pada malam harinya bertempat di Mushola Pelemsari Huntara Plosokerep dilakukan kenduri wilujengan yang dipimpin juru kunci Gunung Merapi oleh masyarakat Yogyakarta dan sekitar Gunung Merapi. Kemudian mereka berangkat menuju Masjid Kinahrejo dan ke lokasi bekas rumah almarhum Mbah Maridjan (Mantan Juru kunci Gunung Merapi) untuk melakukan malam renungan dan doa yang dipimpin juru kunci Gunung Merapi diikuti para abdi dalem kraton dan warga.
Berikutnya, rombongan akan kembali ke huntara Plosokerep, di sini rombongan dihibur kesenian uyon-uyon oleh paguyuban kesenian Desa Umbulharjo dan dilanjutkan pembacaan doa dan tahlil malam tirakatan yang dipimpin Juru Kunci Gunung Merapi dan para abdi dalem kraton. Prosesi Labuhan Merapi kemudian dilanjutkan perjalanan menuju Alas Bedengan sebagai lokasi Labuhan Merapi yang didahului dengan napak tilas di bekas rumah Mbah Maridjan. Berikutnya menjelang akhir, di Alas Bedengan Rampe Labuhan dari Sri Sultan Hamengkubuwono X dibacakan alunan doa dan prosesi ini menjadi acara puncak sekaligus penutup Upacara Labuhan Merapi. Setelah prosesi selesai, kemudian rampe labuhan tersebut diperebutkan oleh masyarakat. Mereka percaya bahwa dengan mendapatkan salah satu dari Rampe Labuhan Sri Sultan Hamengkubuwono X maka mereka akan mendapatkan tidak hanya berkat tetapi juga keselamatan dalam hidup.
0 comments:
Posting Komentar